Intermezzo

10:55 PM

Kenyataannya, bahwa aku menunggu hampir 10 menit untuk memulai tulisan ini. Kalimat pertama saja.

Kemudian disusul helaan nafas.

Terakhir, doa.

Aku tahu menulis di media terbuka macam Twitter memiliki resiko sosial tinggi. Kekhawatiran di anggap terlalu curhat, terlalu lemah, terlalu 'ngapain sih nulis beginian di Twitter?' selalu ada. Pernahkan kalian merasa begitu? Oh atau mungkin aku saja yang terlalu peduli dengan itu semua.

Seharusnya cuek saja.

Namun entah, kosongnya posisi seseorang yang begitu berlubang telinganya untuk sekedar mendengar keluh kesahku, impian bual yang spontan, pembicaraan bodoh tanpa jeda, isu berat tentang kaum aristokrat, bahkan tentang romansa dangkal yang tidak dapat aku sangkal terjadi pada setiap wanita, membuatku membutuhkan media bercerita.

Blog sementara menjadi alternatif tempat paling netral. Tanpa menghakimi. Aku yakin pengguna Blog di lingkaranku adalah manusia dengan pemahaman yang serupa. Menulis ataupun bercerita bukan keahlian sembarang orang yang gemar mengkritik tanpa asas. Mereka tahu kapan harus berkomentar, kapan harus bungkam.

Jadi, mungkin setelah ini, Blog ini tidak hanya akan diisi dengan celotehan yang informatif, namun akan menjadi buku bergambar anak SD yang akan menuliskan apa saja, sesuka hati. Dengan lebih bijak dan tertata tentunya.

P.S,
Aku belajar tangguh, tapi kadang aku ingin mengeluh. Aku belajar peka, tapi kadang aku ingin acuh saja. Aku belajar menjadi pintar, tapi kadang aku lelah mengejar. Aku belajar diam, tapi kadang aku lelah memendam. 
Aku hidup di dunia dengan irama. Serasikan saja semua, sehingga mungkin aku dapat hidup lebih lama. 

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe